PENGEMBANGAN
PROFESIONALISME GURU
Profesi dan
Profesionalisasi Keguruan
Guru sebagai profesi perlu diiringi
dengan pemberlakuan aturan profesi keguruan, sehingga akan ada keseimbangan
antara hak dan kewajiban bagi seseorang yang berprofesi guru, antara lain:
Indonesia memerlukan guru yang bukan hanya disebut guru, melainkan guru yang profesional
terhadap profesinya sebagai guru. Aturan profesi keguruan berasal dari dua kata
dasar profesi dan bidang spesifik guru/keguruan.
Secara logik, setiap usaha
pengembangan profesi (professionalization) harus bertolak dari konstruk
profesi, untuk kemudian bergerak ke arah substansi spesifik bidangnya.
Diletakkan dalam konteks pengembangan profesionalisme keguruan, maka setiap
pembahasan konstruk profesi harus diikuti dengan penemukenalan muatan spesifik
bidang keguruan. Lebih khusus lagi, penemukenalan muatan didasarkan pada
khalayak sasaran profesi tersebut. Karena itu, pengembangan profesionalisme
guru sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah akan menyentuh persoalan: (1) sosok
profesional secara umum, (2) sosok profesional guru secara umum, dan (3) sosok
profesional guru sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah.
Profesional
adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber
penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang
memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Bagaimana dengan pekerjaan keguruan?
Tak
diragukan, guru merupakan pekerjaan dan sudah menjadi sumber penghasilan bagi
begitu banyak orang, serta memerlukan keahlian berstandar mutu atau norma
tertentu. Secara teoretik, ini sejalan dengan syarat pertama profesi menurut
Ritzer (1972), yakni pengetahuan teoretik (theoretical knowledge). Guru
memang bukan sekedar pekerjaan atau mata pencaharian yang membutuhkan
ketrampilan teknis, tetapi juga pengetahuan teoretik. Sekedar contoh, siapa pun
bisa trampil melakukan pertolongan pertama pada kecelakaan (PPPK), tetapi hanya
seorang dokter yang bisa mengakui dan diakui memiliki pemahaman teoretik
tentang kesehatan dan penyakit manusia.
Pun
demikian dengan pekerjaan keguruan. Siapa saja bisa trampil mengajar orang
lain, tetapi hanya mereka yang berbekal pendidikan profesional keguruan yang
bisa menegaskan dirinya memiliki pemahaman teoretik bidang keahlian
kependidikan. Kualifikasi pendidikan ini hanya bisa diperoleh melalui
pendidikan formal bidang dan jenjang tertentu.
Kompetensi guru meliputi kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi
profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi pedagogik
menunjuk pada kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi
kepribadian menunjuk pada kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia,
arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Kompetensi profesional
menunjuk pada kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam.
Kompetensi sosial menunjuk kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi
secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali
peserta didik, dan masyarakat sekitar.[4]
Tampaknya,
Kendati syarat kualifikasi pendidikan terpenuhi, tak berarti dengan sendirinya
seseorang bisa bekerja profesional, sebab juga harus ada cukup bukti bahwa dia
memiliki keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau
norma tertentu. Karena itu, belakangan ditetapkan bahwa sertifikasi pendidik
merupakan pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga
profesional.
Syarat
kedua profesi adalah pemberlakuan pelatihan dan praktik yang diatur secara
mandiri (self-regulated training and practice). Kalau kebanyakan orang
bekerja di bawah pengawasan ketat atasan, tak demikian dengan profesi.
Pekerjaan profesional menikmati derajat otonomi tinggi, yang bahkan cenderung
bekerja secara mandiri. Sejumlah pelatihan profesional masih diperlukan dan
diselenggarakan oleh asosiasi profesi. Gelar formal dan berbagai bentuk
sertifikasi dipersyaratkan untuk berpraktik profesional. Bahkan, pada sejumlah
profesi yang cukup mapan, lobi-lobi politik asosiasi profesi ini bisa
memberikan saksi hukum terhadap mereka yang melakukan praktik tanpa sertifikasi
terkait.
Bila
tolak-ukur ini dikenakan pada pekerjaan keguruan, jelas kemantapan guru sebagai
profesi belum sampai tahapan ini. Banyak guru masih bekerja dalam pengawasan
ketat para atasan serta tidak memiliki derajat otonomi dan kemandirian
sebagaimana layaknya profesi. Pun nyaris tanpa sanksi bagi siapa saja yang
berpraktik keguruan meskipun tanpa sertifikasi kependidikan. Sistem
konvensional teramat jelas tidak mendukung pemantapan profesi keguruan.
Keputusan penilaian seorang guru bidang studi, misalnya, sama sekali tidak
bersifat final karena untuk menentukan kelulusan, atau kenaikan kelas, masih
ada rapat dewan guru. Tak jarang, dalam rapat demikian, seorang guru bidang
studi harus “mengubah” nilai yang telah ditetapkan agar sesuai dengan keputusan
rapat dewan guru.
Dalam
konteks otoritas profesional tersebut, tampak berbeda antara otonomi profesi
dosen dengan otonomi profesi guru. Dengan sistem kredit semester, seorang dosen
bisa membuat keputusan profesional secara mandiri dan bertanggung-jawab.
Keputusan seorang dosen profesional memiliki bobot mengikat sebagaimana
keputusan seorang dokter untuk memberikan atau tidak memberikan obat tertentu.
Tak sesiapa pun, termasuk Ketua Jurusan, Dekan, dan bahkan Rektor, yang bisa
melakukan intervensi langsung terhadap penilaian yang telah dilakukan oleh
seorang dosen terhadap mahasiswanya. Tentu saja, di balik otoritas demikian,
juga dituntut adanya tanggung-jawab dan keberanian moral seorang tenaga
profesional.
Guru
bukan pedagang. Itu jelas, karena seorang pedagang yang baik hanya punya satu
dorongan, yaitu memuaskan pelanggan agar mendapatkan keuntungan bagi dirinya.
Prinsip pembeli adalah raja, tidak berlaku dalam pekerjaan profesional
keguruan. Ini terkait dengan syarat profesi ketiga, yaitu: kewenangan atas
klien (authority over clients).
Karena
memiliki pendidikan formal dan nonformal ekstensif, para profesional mengakui
dan diakui memilik pengetahuan yang tak sesiapa pun di luar profesi yang
bersangkutan dapat memahami secara penuh pengetahuan tersebut. Karena pengakuan
demikian, maka seorang profesional melakukan sendiri proses asesmen kebutuhan,
diagnosis masalah, hingga pengambilan tindakan yang diperlukan beserta
tanggung-jawab moral dan hukumnya. Seperti seorang dokter yang tidak bisa
didikte oleh seorang pasien untuk memberikan jenis perlakuan dan obat apa,
demikian pula tak seorang peserta didik atau bahkan orangtua mereka yang berhak
mendikte materi, metode dan penilaian seorang guru.
Guru
profesional tidak boleh terombang-ambing oleh selera masyarakat, karena tugas
guru membantu dan membuat peserta didik belajar. Perlu diingat, seorang guru
atau dosen memang tidak diharamkan untuk menyenangkan peserta didik dan mungkin
orangtua mereka. Namun demikian, tetap harus diingat bahwa tugas profesional
seorang pendidik adalah membantu peserta didik belajar (to help the others
learn), yang bahkan terlepas dari persoalan apakah mereka suka atau tidak
suka.
Syarat
terakhir, pekerjaan profesional juga ditandai oleh orientasinya yang lebih
kepada masyarakat daripada kepada pamrih pribadi (community rather than
self-interest orientation). Pekerjaan profesional juga dicirikan oleh
semangat pengutamaan orang lain (altruism) dan kemanfaatan bagi seluruh
masyarakat ketimbang dorongan untuk memperkaya diri pribadi. Walaupun secara
praktik boleh saja menikmati penghasilan tinggi, bobot cinta altruistik profesi
memungkinkan diperolehnya pula prestise sosial tinggi.
Adapun
karakteristik profesional minimum guru, berdasarkan sintesis temuan-temuan
penelitian, telah dikenal karakteristik profesional minimum seorang guru,
yaitu: (1) mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2) menguasai
secara mendalam bahan belajar atau mata pelajaran serta cara pembelajarannya,
(3) bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara
evaluasi, (4) mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan
belajar dari pengalamannya, dan (5) menjadi partisipan aktif masyarakat belajar
dalam lingkungan profesinya.[5]
Secara
substantif, sejumlah karakteristik tersebut sudah terakomodasi dalam peraturan
perundang-undangan yang mengatur standar kualifikasi akademik dan kompetensi
guru. Beberapa di antaranya adalah: (1) menguasai karakteristik peserta didik
dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual, (2)
menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik, (3)
mengembangkan kurikulum yang terkait dengan bidang pengembangan yang diampu,
(4) menyelenggarakan kegiatan pengembangan yang mendidik, (5) memanfaatkan
teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan kegiatan
pengembangan yang mendidik, dan (6) memfasilitasi pengembangan potensi peserta
didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki.
Mencermati
sejumlah materi sajian dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan guru dalam
jabatan ini, tampak jelas bahwa penekanan yang diberikan pada aspek kompetensi,
sedangkan aspek-aspek lain dari penguatan profesi belum cukup tampak dalam
kurikulum pendidikan dan pelatihan ini. Karena itu, saya berharap agar sejumlah
aspek yang masih tercecer bisa diagendakan di luar kurikulum tertulis (written
curriculum), agar sosok profesional guru madrasah ibtidaiyah atau sekolah
dasar yang dihasilkan merupakan sosok profesional yang utuh.
Akhirnya,
memang masih cukup panjang dan berliku jalan untuk menegakkan profesi keguruan.
Selain keharusan untuk menuntaskan persyaratan kualifikasi, kompetensi dan
sertifikasi, masih ada tantangan yang lebih berdimensi legal dan moral. Namun
demikian, satu atau dua langkah sudah berhasil dilakukan. Kalau dari perspektif
kemauan politik sudah pengakuan terhadap profesi guru dan dosen sudah
diundangkan, maka dari perspektif guru sendiri juga harus ada usaha untuk
senantiasa memantapkan profesinya.
Kalau
transformasi organisasi profesi berhasil dilakukan, maka letak kendali (locus
of control) profesi keguruan, seperti kewenangan sertifikasi, evaluasi dan
pemberian sanksi, juga bergeser dari ranah politik pemerintah ke ranah profesi
keguruan. Karena pergeseran letak kendali dari pemerintah ke organisasi profesi
menyangkut kewenangan dan sumberdaya untuk sertifikasi, akreditasi, dan
evaluasi, maka persoalan menjadi sangat berdimensi politik serta sarat dengan
konflik kepentingan.
Dari
perspektif struktur kekuasaan, mungkinkah para pejabat birokrasi pendidikan
yang masih berkecenderungan senantiasa memperluas bidang kekuasaan, merelakan
terjadinya redefinisi kekuasaan menjadi lebih terbatas? Atau, bisakah watak
birokrasi pendidikan kita yang senantiasa ingin memusatkan kekuasaan pada
sekelompok kecil orang, diubah agar terjadi redistribusi kekuasaan kepada
masyarakat sipil seperti organisasi profesi keguruan?
Dari
perspektif kultur masyarakat, bisakah kita mengubah mentalitas masyarakat
berorientasi serba-negara (state-oriented society) ini menjadi masyarakat
yang berorientasi pada jasa nyata dan prestasi (merit and
achievement-oriented society)? Beranikah para guru mengambil-alih kembali (reclaiming)
sebagian kewenangan yang sudah cukup lama kita serahkan kepada negara dan atau
pemerintah?
Bila
jawaban positif kita berikan, maka sudah saatnya kita menyiapkan kata
perpisahan kepada sertifikasi, akreditasi, dan evaluasi oleh pemerintah. Sudah
saatnya organisasi profesi keguruan melakukan sertifikasi profesi keguruan.
Sudah saatnya akreditasi sekolah dan perguruan tinggi dilakukan oleh lembaga
independen. Sudah saatnya pula pelaksanaan dan keputusan hasil evaluasi peserta
didik dilakukan oleh para pendidik profesional.
[1]Undang-undang No 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
[2]Sakban Rosidi, Sistem
Kredit dan Profesionalisasi Keguruan, Surya, 13 Maret 2007.
[3]Peraturan Pemerintah No
19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
[4]Undang-undang No 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
[5]Supriadi, D. Mengangkat
Citra dan Martabat Guru. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1998.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar